Sabtu, 05 November 2016

Pelajar dan Ironi Perbudakan Nilai

Perbudakan nyatanya tak hanya dialami oleh orang-orang yang dipaksa secara fisik saja, tapi juga secara mental dan pikiran. Saat ini, saya melihat para pelajar layaknya budak dan sekolah sebagai pabrik—yang mungkin lebih pas disandingkan dengan kata buruh. Mengapa demikian?
Pertama, pelajar harus bekerja (belajar) mati-matian hanya demi nilai. Banyak yang lupa akan esensi menjadi seorang pelajar yang seharusnya belajar demi menambah wawasan, pengetahuan atau keterampilan, bukan sekedar formalitas atau demi angka di selembar kertas. Terlebih lagi sistem pembalajaran kita masih terfokus pada hapalan, bukan penerapan nyata.
          Kedua, efek dari begitu ‘giat’-nya para siswa untuk belajar pelajaran di sekolah memang bisa membuat siswa tersebut pintar dan mendapat nilai bagus. Pertanyaannya, pintar dalam bidang apa dan untuk apa? Sebatas mata pelajaran sekolah dan untuk nilai tersebut? Ironisnya, kebanyakan memang begitu. Saya mungkin tidak menyajikan data akurat, tetapi hal tersebut seperti sudah menjadi rahasia umum di sekitar kita.Demi hal tersebut, banyak di antara mereka yang menambah jam pelajarannya dengan mengikuti les atau bimbel. Apalagi ada yang mengejar nilai tinggi dengan cara-cara tidak benar, seperti mencontek dan memakai kunci jawaban. Menarik, ketika seorang teman saya berkata, “Belajar agar tidak remedial.” Jadi, apa makna belajar saat ini?
Selain itu, belajar terus-menerus hanya dalam konteks apa yang menjadi pelajaran di sekolah tidaklah mengembangkan bakat siswa secara menyeluruh dan tidak pula mengasah pemikiran mereka. Mungkin beberapa ada yang mengikuti ekstra atau les dalam bidang di luar pelajaran, tapi seberapa banyak dan seberapa serius? Atau sebanyak apa waktu luang yang bisa dimanfaatkan disela kesibukan belajar tersebut?
Ketiga, mengenai sekolah itu sendiri. Sekolah, yang semestinya menjadi tempat belajar, menambah ilmu, wawasan, dan mengarahkan setiap siswa menuju kebenaran saat ini telah menjadi suatu tempat dimana siswa dipaksa menaati ‘kebenaran’ itu sendiri, bukan diberi kebebasan memilih. Pikiran kolot di mana guru selalu benar dan siswa tak boleh membantah masih sering terjadi.
Dibatasinya pemikiran tersebut hanya akan menghasilkan pelajar dengan tipe serupa, produk yang sama. Sekolah telah serupa pabrik dengan siswa sebagai produknya dengan standar tertentu yang model yang tak jauh berbeda. Dan sialnya, kebanyakan dididik menjadi pekerja semata dengan doktrin cari kerja.
Keempat, pemaknaan sekolah sebagai pabrik juga bisa dinilang kembali ke paragraf dua dan tiga di mana murid serupa buruh yang mengolah suatu barang dengan bahan dasar mata pelajaran sekolah dan untuk menghasilkan upah (nilai). Jika buruh ditekan kapitalis, maka kita pun sama. Yang paling menyedihkan adalah saat kebanyakan pelajar tak sadar dengan penjajahan seperti ini. Ke mana kata merdeka?
Jadi, kalian apa masih mau terus diperbudak oleh nilai sedang kalian sendiri tidak menemukan manfaat lain dari belajar tersebut? Saya yakin, banyak di luar sana yang terus belajar di luar konseptual sekolah, yang tak tergerus pemikirannya dan mengikuti arus. Pertanyaan terakhir, ketika kecil kalian miliki cita-cita beragam, lalu apa cita-cita kalian saat ini relevan dengan kenyataan yang dihadapi dan kalian jalani?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar